Sejarah Gas Elpiji di Indonesia

Dari Kerosene ke Gas Melon, Sebuah Revolusi Energi

I Gede Sukmajaya W., SE, MM

9/2/20252 min read

Sejarah Gas Elpiji di Indonesia: Dari Kerosene ke Gas Melon, Sebuah Revolusi Energi

Sejarah penggunaan Elpiji (LPG) di Indonesia tidak hanya tentang transisi dari satu jenis bahan bakar ke bahan bakar lain. Ini adalah kisah tentang sebuah revolusi energi skala nasional yang mengubah kebiasaan, ekonomi, dan bahkan lanskap sosial masyarakat. Sebelum Elpiji menjadi barang yang lazim di setiap dapur, Indonesia adalah negara yang sangat bergantung pada minyak tanah (kerosene) sebagai sumber energi utama untuk memasak. Era minyak tanah, yang berlangsung selama puluhan tahun, memiliki konsekuensi besar, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.

Pada tahun 1968, Pertamina mulai memperkenalkan gas Elpiji, tetapi penggunaannya masih sangat terbatas. Elpiji pada saat itu hanya menjangkau kalangan industri besar, restoran, dan beberapa rumah tangga kelas atas di kota-kota besar. Masyarakat umum masih enggan beralih. Alasan utamanya adalah kebiasaan yang sudah mengakar kuat dengan minyak tanah, minimnya infrastruktur distribusi Elpiji, dan persepsi masyarakat bahwa tabung gas itu berbahaya. Minyak tanah dinilai lebih mudah didapat dan aman, meskipun api yang dihasilkan kotor dan berjelaga.

Titik balik yang mengubah segalanya adalah Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji yang diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 2007. Program ini bukan sekadar kebijakan, melainkan sebuah inisiatif ambisius untuk mengatasi beban subsidi minyak tanah yang kian membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada puncaknya, subsidi minyak tanah mencapai angka puluhan triliun rupiah per tahun, dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan yang lebih produktif.

Program konversi ini dijalankan secara masif dan terstruktur. Pemerintah membagikan jutaan paket konversi gratis yang terdiri dari tabung Elpiji 3 kg, kompor gas, dan selang regulator kepada keluarga miskin dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tabung 3 kg yang berwarna hijau ini dengan cepat menjadi populer dan mendapat julukan akrab "gas melon". Kehadiran gas melon mengubah wajah dapur-dapur di seluruh Indonesia. Proses memasak menjadi lebih cepat, bersih, dan efisien. Tidak ada lagi jelaga yang menodai panci atau kompor, dan risiko kebakaran akibat tumpahan minyak tanah pun berkurang.

Namun, transisi besar ini juga diwarnai dengan berbagai tantangan. Pada awal implementasinya, muncul isu-isu seperti kelangkaan pasokan di beberapa daerah terpencil, yang memicu lonjakan harga di pasar gelap. Selain itu, kecelakaan akibat ledakan tabung gas sempat marak diberitakan, sering kali disebabkan oleh penggunaan regulator dan selang yang tidak standar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpercayaan di masyarakat.

Pemerintah dan Pertamina dengan sigap merespons tantangan-tantangan ini. Sosialisasi tentang cara penggunaan Elpiji yang aman digencarkan, kualitas tabung dan regulator ditingkatkan, dan sistem distribusi diperbaiki untuk memastikan ketersediaan pasokan. Seiring berjalannya waktu, kepercayaan masyarakat pulih dan ketergantungan pada minyak tanah pun bergeser.

Hingga saat ini, Elpiji 3 kg telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi sebagai bahan bakar, tetapi juga sebagai simbol dari kemandirian energi yang lebih bersih dan efisien. Revolusi energi ini menunjukkan bagaimana kebijakan yang tepat dapat membawa dampak positif yang masif dan berkelanjutan bagi jutaan orang, mengubah kebiasaan lama, dan membuka jalan menuju masa depan energi yang lebih cerah. Elpiji, dari yang awalnya asing, kini menjadi teman setia di setiap dapur, menopang aktivitas memasak di seluruh pelosok negeri.